Jumat, 30 September 2011

Kebudayaan Suku Asmat

Suku Asmat adalah sebuah suku di Papua. Suku Asmat dikenal dengan hasil ukiran kayunya yang unik. Populasi suku Asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua populasi ini saling berbeda satu sama lain dalam hal dialek, cara hidup, struktur sosial dan ritual. Populasi pesisir pantai selanjutnya terbagi ke dalam dua bagian yaitu suku Bisman yang berada di antara sungai Sinesty dan sungai Nin serta suku Simai.


Ada banyak pertentangan di antara desa berbeda Asmat. Yang paling mengerikan adalah cara yang dipakai Suku Asmat untuk membunuh musuhnya. Ketika musuh dibunuh, mayatnya dibawa ke kampung, kemudian dipotong dan dibagikan kepada seluruh penduduk untuk dimakan bersama. Mereka menyanyikan lagu kematian dan memenggalkan kepalanya. Otaknya dibungkus daun sago yang dipanggang dan dimakan.
Sekarang biasanya, kira-kira 100 sampai 1000 orang hidup di satu kampung. Setiap kampung punya satu rumah Bujang dan banyak rumah keluarga. Rumah Bujang dipakai untuk upacara adat dan upacara keagamaan. Rumah keluarga dihuni oleh dua sampai tiga keluarga, yang mempunyai kamar mandi dan dapur sendiri. Hari ini, ada kira-kira 70.000 orang Asmat hidup di Indonesia. Mayoritas anak-anak Asmat sedang bersekolah.
 
Mata pencarian
Kebiasaan bertahan hidup dan mencari makan antara suku yang satu dengan suku yang lainnya di wilayah Distrik Citak-Mitak ternyata hampir sama. suku asmat darat, suku citak dan suku mitak mempunyai kebiasaan sehari-hari dalam mencari nafkah adalah berburu binatang hutan separti, ular, kasuari< burung< babi hitan< komodo dll. mereka juga selalu meramuh / menokok sagu sebagai makan pokok dan nelayan yakni mencari ikan dan udang untuk dimakan. kehidupan dari ketiga suku ini ternyata telah berubah.
Rumah Suku Asmat
Suku Asmat adalah suku yang memegang kuat filosofi hidup dan nilai-nilai kesopanan. Hal itu juga termasuk dalam cara mereka membangun rumah adat Suku Asmat tanpa adanya campur tangan jasa arsitek di dalamnya
Jew
Rumah adat Suku Asmat yang dikenal dengan nama Jew, adalah rumah yang khusus diperuntukkan bagi pelaksanaan segala kegiatan yang sifatnya tradisi. Misalnya untuk rapat adat, melakukan pekerjaan membuat noken (tas tradisional Suku Asmat), mengukir kayu, dan juga tempat tinggal para bujang. Oleh karena itu, rumah Jew juga disebut sebagai Rumah Bujang.Rumah ini unik karena dibangun sangat panjang, bahkan hingga mencapai 50 meter. Karena masyarakat Asmat kuno belum mengenal paku, maka pembuatan rumah Jew sampai saat ini tidak menggunakan paku.
Rumah Tysem
Ada satu lagi rumah adat Suku Asmat yaitu, Tysem. Rumah ini bisa juga disebut sebagai rumah keluarga, karena yang menghuni adalah mereka yang telah berkeluarga. Biasanya, ada 2 sampai 3 pasang keluarga yang mendiami Tysem.Ukurannya lebih kecil dari pada rumah Jew. Letak rumah Tysem biasanya di sekeliling rumah Jew. Sebuah rumah Jew dapat dikelilingi oleh sekitar 15 sampai 20 rumah Tysem.
Bahan membangun rumah Tysem hampir sama dengan bahan pembuat rumah Jew. Semua dari bahan alami yang terdapat di hutan sekitar lokasi Suku Asmat berada.
 
Kepercayaan Terhadap Roh Leluhur
Suku Asmat berlatar belakang sebagai penganut animisme, sama seperti berbagai suku tradisional di seluruh dunia. Maka, kepercayaan terhadap hal gaib berupa roh leluhur yang menjaga mereka juga masih ada.Kepercayaan mereka itu dituangkan dalam keahlian membuat ukiran kayu tanpa sketsa. Mereka percaya, roh leluhur akan membimbing mereka untuk menyelesaikan patung ukiran yang mereka buat. Nama patung ukiran yang menceritakan tentang arwah para leluhur mereka disebut Mbis.Mbis banyak dijumpai di rumah adat Suku Asmat terutama Jew. Dipercaya roh leluhur akan turut menjaga rumah yang mereka bangun dengan adanya Mbis didalamnya.

kebudayaan jawa barat

Budaya Sunda dikenal dengan budaya yang sangat menjujung tinggi sopan santun. Pada umumnya karakter masyarakat sunda, ramah tamah (someah), murah senyum, lemah lembut, dan sangat menghormati orangtua. Itulah cermin budaya dan kultur masyarakat sunda. Di dalam bahasa Sunda diajarkan bagaimana menggunakan bahasa halus untuk orang tua..

 Strategi budaya

"Silih asih, silih asah, dan silih asuh" (saling mengasihi, saling mempertajam diri, dan saling memelihara dan melindungi), merupakan pameo budaya yang menunjukkan karakter yang khas dari budaya religius Sunda sebagai konsekuensi dari pandangan hidup keagamaannya.
Saling asih adalah wujud komunikasi dan interaksi religius-sosial yang menekankan sapaan cinta kasih Tuhan dan merespons cinta kasih Tuhan tersebut melalui cinta kasih kepada sesama manusia. Dengan ungkapan lain, saling asih merupakan kualitas interaksi yang memegang teguh nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Semangat.ketuhanan dan kemanusiaan inilah yang kemudian melahirkan moralitas egaliter (persamaan) dalam masyarakat.


Dalam tradisi masyarakat saling asih, manusia saling menghormati, tidak ada manusia yang dipandang superior maupun inperior sebab menentang semangat ketuhanan dan semangat kemanusiaan. Mendudukan manusia pada kedudukan superior atau inperior merupakan praktek dari syirik sosial. Ketika ada manusia yang dianggap superior (tinggi), berarti mendudukkan manusia sejajar dengan Tuhan dan jika mendudukan manusia pada kedudukan yang inperior (rendah), berarti mengangkat dirinya sejajar dengan Tuhan. Dalam masyarakat saling asih manusia didudukkan secara sejajar (egaliter) satu sama lainnya. Prisip egaliter ini kemudian melahirkan etos musyawarah, ta'awun (kerjasama) dan sikap untuk senantiasa bertindak adil. Etos dan moralitas inilah yang menjadikan masyarakat teratur, dinamis dan harmonis.
Kesenian
berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip).
Perenungan masyarakat Sunda dahulu dalam mengolah pertanian (tatanen) terutama di sawah dan huma telah melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci, serta upaya nyinglar (tolak bala) agar cocok tanam mereka tidak mengundang malapetaka, baik gangguan hama maupun bencana alam lainnya. Syair lagu buhun untuk menghormati Nyi Sri Pohaci tersebut misalnya:
Si Oyong-oyong
Sawahe si waru doyong
Sawahe ujuring eler
Sawahe ujuring etan
Solasi suling dami
Menyan putih pengundang dewa
Dewa-dewa widadari
Panurunan si patang puluh
Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung dan calung. Perkembangan selanjutnya dalam permainan Angklung tradisi disertai pula dengan unsur gerak dan ibing (tari) yang ritmis (ber-wirahma) dengan pola dan aturan-aturan tertentu sesuai dengan kebutuhan upacara penghormatan padi pada waktu mengarak padi ke lumbung (ngampih pare, nginebkeun), juga pada saat-saat mitembeyan, mengawali menanam padi yang di sebagian tempat di Jawa Barat disebut ngaseuk. Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung dan calung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.
Agama
Sejak agama Islam berkembang di Tatar Sunda, pesantren, paguron, dan padepokan yang merupakan tempat pendidikan orang-orang Hindu, diadopsi menjadi lembaga pendidikan Islam dengan tetap menggunakan nama pasantren (pasantrian) tempat para santri menimba ilmu agama. Pesantren ini biasanya dipimpin seorang ulama yang diberi gelar "kiai". Gelar kiai ini semula digunakan untuk benda-benda keramat dan bertuah, tetapi dalam adaptasi Islam dan budaya Sunda, gelar ini melekat dalam diri para ulama sampai sekarang. Di pesantren ini jugalah huruf dan bahasa Arab mendapat tempat penyebaran yang semakin luas di kalangan masyarakat Sunda dan menggantikan posisi huruf Jawa dan Sunda yang telah lama digunakan sebelum abad ke-17 Masehi.
Islamisasi di tatar Sunda selain dibentuk oleh 'penyesuaian' juga dibentuk melalui media seni yang digemari masyarakat. Ketika ulama masih sangat jarang, kitab suci masih barang langka, dan kehidupan masih diwarnai unsur mistis, penyampaian ajaran Islam yang lebih tepat adalah melalui media seni dalam upacara-upacara tradisi.
Salah satu upacara sekaligus sebagai media dakwah Islam dalam komunitas Sunda yang seringkali digelar adalah pembacaan wawacan dalam upacara-upacara tertentu seperti tujuh bulanan, marhabaan, kelahiran, dan cukuran. Seringnya dakwah Islam disampaikan melalui wawacan ini melahirkan banyak naskah yang berisi tentang kisah-kisah kenabian, seperti Wawacan Carios Para Nabi, Wawacan Sajarah Ambiya, Wawacan Babar Nabi, dan Wawacan Nabi Paras yang ditulis dengan huruf Arab, berbahasa Sunda dalam bentuk langgam pupuh, seperti Pupuh Asmarandana, Sinom, Kinanti, Dangdanggula, dan Pangkur. Untuk mengikat pendengar yang hadir, si pembaca naskah menguncinya dengan membaca sebuah kalimat: Sing saha jalma anu maca atawa ngadengekeun ieu wawacan nepi ka tamat bakal dihampura dosa opat puluh taun. Dengan khidmat, si pendengar menikmati lantunan juru pantun yang berkisah tentang ajaran Islam ini dari selepas isya hingga menjelang subuh.

Selasa, 27 September 2011

KEBUDAYAAN INDONESIA



Pada kesempatan kali ini saya akan membahas mengenai kebudayaan. Hal ini juga tidak terlepas dari zaman yang berlaku saat itu ataupun sekarang, oleh karena itu saya akan membahas keduanya secara sekaligus namun titik fokusnya tetap ada pada pembahasan mengenai kebudayaan. Sebelum membahas lebih lanjut, ada baiknya kalau kita mengerti apa itu kebudayaan yah ,,

Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti budi atau akal (buddhayah), sedangkan dalam bahasa Inggris adalah culture yang berasal dari bahasa latin colere yang berarti mengolah atau mengerjakan. Namun di Indonesia terkadang culture diartikan secara berbeda yaitu sebagai kultur. Secara tidak langsung kita dapat mengambil kesimpulan mengenai pengertian dari kebudayaan. Kebudayaan merupakan suatu hasil dari buah pikir atau akal dari manusia yang menjadi cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh suatu kelompok masyarakat tertentu dan diwariskan secara generasi ke generasi.

Kebudayaan bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Sebab kebudayaan terbentuk dari banyak unsur yang rumit termasuk juga agama. Menurut Melville J. Herskovits, kebudayaan memiliki 4 unsur pokok yang membangunnya yaitu alat-alat teknologi, sistem ekonomi, keluarga dan kekuasaan politik. Walau jumlahnya sama namun unsur pembangun kebudayaan berbeda dengan pendapat dari Bronislaw Malinowski. Menurutnya unsur-unsur tersebut terdiri dari sistem norma sosial, organisasi ekonomi, alat-alat serta lembaga-lembaga pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama) dan organisasi kekuatan (politik).


Setelah saya membahas sekilas apa itu kebudayaan maka, sekarang saya akan membahas masalah intinya. Sudah menjadi rahasia umum kalau tanah air tercinta kita ini memiliki segudang kebudayaan yang khas. Contoh dari kebudayaan bangsa kita diantara lain, batik, wayang kulit, keris, dan masih banyak lagi. Beberapa dari kebudayaan tersebut telah diakui oleh UNESCO.

Dewasa ini hampir seluruh kawula muda jarang meminati kebudayaan negara sendiri, entah alasan karena sudah jadul atau nggak ngetrend lagi atau apalah. Bahkan hampir tidak meminati sama sekali dan justru meminati budaya luar. Padahal suatu kebudayaan akan dapat terus terjaga dan lestari jika generasi penerusnya mau mempelajari, melanjutkan serta menjaga kebudayaan yang telah ada agar tetap eksis dan bertahan. Jika hal ini terus terjadi maka tidak mustahil kalau kebudayaan kita ini akan hancur , luntur bahkan tidak ada lagi sesuai perkembangan zaman.
 Hal ini membuat generasi muda menjadi cuek dengan budaya mereka sendiri. Sehingga mereka tidak paham dengan betapa pentingnya kebudayaan itu. Karena kebudayaan merupakan ciri khas serta jati diri dari suatu negara atau bangsa. Ketika negara lain mengakui kebudayaan kita sebagai bagian dari kebudayaan milik mereka. Barulah kita marah dan peduli dengan kebudayaan kita tersebut. Namun ketika permasalahan mereda, maka kita kembali cuek dengan budaya tersebut.

Seperti yang kita tahu, sudah banyak kasus seperti yang saya sebutkan barusan  telah terjadi. Sebenarnya hal tersebut bisa kita cegah jika saja para generasi muda mau peduli serta meneruskan kebudayaan yang telah kita miliki dan justru tidak sibuk dengan kebudayaan luar. Boleh saja kita mempelajari kebudayaan bangsa lain supaya dapat memahami keadaan dan kehidupan bangsa tersebut, tapi jauh lebih baik kalau kita mau mempelajari kebudayaan bangsa kita sendiri. Selain itu, kita juga harus segera mematenkan hak cipta dan hak milik atas kebudayaan tersebut. Agar tidak ada lagi pihak-pihak yang berniat mengakui kebudayaan milik kita apalagi mau mematenkan kalau kebudayaan tersebut benar-benar milik mereka. hal tersebut sangat membahayakan sekali.

Seharusnya kita bangga dengan kebudayaan milik kita. Kenapa ??? karena kebudayaan yang kita miliki sangat beragam dari seni musik, tari, rupa, pakaian sampai adat istiadatnya. Dan perbedaan tersebut janganlah menjadi pemicu perpecahan tapi kita jadikan sebagai media pemersatu bangsa,  sesuai dengan semboyan yang kita miliki yaitu Bhinneka Tunggal Ika