NAMA:
NITA MARLINA
KELAS
: 4EA09
NPM
: 15211196
UNDANG UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 2007
TENTANG PERSEROAN TERBATAS
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
a
bahwa
perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional, perlu didukung oleh kelembagaan perekonomian yang
kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat;
b.
bahwa dalam
rangka lebih meningkatkan pembangunan perekonomian nasional yang sekaligus
memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam menghadapi perkembangan
perekonomian di era globalisasi pada masa mendatang, perlu didukung oleh suatu undang-
undang yang mengatur tentang perseroan terbatas yang dapat menjamin terselenggaranya
iklim dunia usaha yang kondusif;
c.
bahwa
perseroan terbatas sebagai salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional
perlu
diberikan
landasan hukum untuk lebih memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;
d.
bahwa Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dipandang sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu diganti
dengan undang
-undang yang
baru;
e.
bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
membentuk
Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas;
Analisis
Analisis PT UU no 40 tahun 2007:
Berdasarkan Pasal 1 UU PT No. 40/2007 pengertian Perseroan Terbatas
(Perseroan) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. PT merupakan perusahaan yang
oleh undang-undang dinyatakan sebagai perusahaan yang berbadan hukum. Dengan
status yang demikian itu, PT menjadi subyek hukum yang menjadi pendukung hak
dan kewajiban, sebagai badan hukum. Hal ini berarti PT dapat melakukan
perbuatan-perbuatan hukum seperti seorang manusia dan dapat pula mempunyai
kekayaan atau utang (ia bertindak dengan perantaraan pengurusnya).
Analisis koperasi no 25 tahun 1992:
Sebelumnya, kritik
terhadap Undang-Undang Perkoperasian juga dilontarkan oleh Revrisond Baswir
bahwa Undang-Undang No. 17 Tahun 2001 tidak memiliki perbedaan substansial
dengan Undang-Undang Perkoperasian era orde baru Undang-Undang No. 25 Tahun
1992 dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1967. Secara substansial, Undang-Undang No.
17 Tahun 2012 masih mewarisi karakteristik/corak koperasi yang diperkenalkan di
era pemerintahan Soeharto melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 1967
Analisis koperasi no 12 tahun 1967 :
Perbedaan mendasar
antara Undang-Undang No. 12 Tahun 1967 dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1958
di era pemerintahan Soekarno terletak pada ketentuan keanggotaan koperasi.
Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1958, sebagaimana diatur pada Pasal 18, yang
dapat menjadi anggota koperasi adalah yang mempunyai kepentingan dalam lapangan
usaha koperasi. Ketentuan ini lebih lanjut menurut Revrisond sejalan dengan
penjelasan Mantan Wakil Presiden Moh. Hatta bahwa “bukan corak pekerjaan yang
dikerjakan menjadikan ukuran untuk menjadi anggota, melainkan kemauan dan rasa
bersekutu dan cita-cita koperasi yang dikandung dalam dada dan kepala
masing-masing”.
]
Analisis
keseluruhan:
Berdasarkan Pasal 1 UU PT No. 40/2007 pengertian Perseroan Terbatas
(Perseroan) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. PT merupakan perusahaan yang
oleh undang-undang dinyatakan sebagai perusahaan yang berbadan hukum. Dengan
status yang demikian itu, PT menjadi subyek hukum yang menjadi pendukung hak
dan kewajiban, sebagai badan hukum. Hal ini berarti PT dapat melakukan
perbuatan-perbuatan hukum seperti seorang manusia dan dapat pula mempunyai
kekayaan atau utang (ia bertindak dengan perantaraan pengurusnya).
Koperasi
atau Cooperative Organization bermakna organizatian owned by and
operated for the benefit of those using its services atau dalam bahasa
Indonesia diartikan bahwa organisasi koperasi adalah organisasi yang dimiliki
sekaligus dioperasikan untuk kepentingan penggunaannya dalam hal ini adalah
anggotanya. Koperasi yang berawal dari kata “co” yang berarti bersama
dan “operation” yang berarti bekerja, sehingga koperasi diartikan dengan
“bekerja sama”. Sedangkan, pengertian umum koperasi adalah suatu kumpulan
orang-orang yang mempunyai tujuan sama, diikat dalam suatu organisasi yang
berasaskan kekeluargaan dengan maksud mensejahterakan anggota.
Gerakan
koperasi digagas oleh Robert Owen (1771-1858) yang diterapkannya pertama kali
pada usaha pemintalan kapas di New Lanark, Skotlandia. Gerakan koperasi ini
dikembangkan lebih lanjut oleh William King (1786-1865) dengan mendirikan toko
koperasi di Brighton, Inggris. Pada 1 Mei 1828, King menerbitkan publikasi
bulanan yang bernama “The Cooperator” yang berisi berbagai gagasan dan
saran-saran praktis tentang mengelola toko dengan menggunakan prinsip koperasi.
Koperasi di
Indonesia diperkenalkan oleh R. Aria Wiriatmadja di Purwokerto, Jawa Tengah
pada Tahun 1896. Dia mendirikan koperasi kredit dengan tujuan membantu
rakyatnya yang terjerat hutang dengan rentenir. Koperasi tersebut lalu
berkembang pesat dan akhirnya ditiru oleh Boedi Utomo. Tokoh nasional yang
dengan gigih mendukung koperasi adalah Moh. Hatta, wakil Presiden Republik
Indonesia yang pertama, sehingga beliau disebut dengan Bapak Koperasi Indonesia.
Secara resmi gerakan koperasi Indonesia baru lahir pada tanggal 12 Juli 1947
pada Kongres I di Tasikmalaya yang diperingati sebagai Hari Koperasi Indonesia.
Koperasi
adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum
Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk
menjalankan usaha yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang
ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip koperasi. Koperasi
ini diatur berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.
Lahirnya
Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 menggantikan Undang-Undang No. 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian dinilai memiliki beberapa kelemahan dan mewarisi tradisi
perkoperasian kolonial. Salah satu contohnya adalah semangat koperasi
dihilangkan kemandiriannya dan disubordinasikan di bawah kepentingan
kapitalisme maupun negara. Campur tangan pemerintah dan kepentingan pemilik
modal besar sangat terbuka dalam undang-undang ini.
Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Koperasi dijelaskan bahwa koperasi adalah badan hukum
yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum koperasi, dengan
pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang
memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya
sesuai dengan nilai dan prinsip koperasi. Dari definisi tersebut mengandung
makna koperasi sebagai badan hukum yang tidak ada bedanya dengan badan usaha
uang lain. Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 masih berlandaskan pada azas
perseorangan yang hampir sama dengan perusahaan kapitalistik seperti Perseroan.
Selain itu,
dalam Pasal 75 Undang-Undang ini yang mengatur soal penyertaan modal tidak
mengenal adanya pembatasan. Akibatnya, koperasi bisa kehilangan kemandiriannya
dan anggotanya hanya sekadar dijadikan objek pinjaman bagi pemilik modal besar.
Bahkan, Pasal 55 semakin mengancam kemandirian koperasi yang membolehkan
kepengurusan koperasi dari luar anggota. Keberadaan Dewan Pengawas sebagaimana
tercantum dalam Pasal 48 sampai Pasal 54 juga yang berfungsi layaknya lembaga
superbody. Hal ini memudahkan keputusan koperasi di luar kepentingan anggotanya.
Sebelumnya,
kritik terhadap Undang-Undang Perkoperasian juga dilontarkan oleh Revrisond
Baswir bahwa Undang-Undang No. 17 Tahun 2001 tidak memiliki perbedaan
substansial dengan Undang-Undang Perkoperasian era orde baru Undang-Undang No.
25 Tahun 1992 dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1967. Secara substansial,
Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 masih mewarisi karakteristik/corak koperasi
yang diperkenalkan di era pemerintahan Soeharto melalui Undang-Undang No. 12
Tahun 1967.
Perbedaan
mendasar antara Undang-Undang No. 12 Tahun 1967 dengan Undang-Undang No. 14
Tahun 1958 di era pemerintahan Soekarno terletak pada ketentuan keanggotaan
koperasi. Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1958, sebagaimana diatur pada Pasal
18, yang dapat menjadi anggota koperasi adalah yang mempunyai kepentingan dalam
lapangan usaha koperasi. Ketentuan ini lebih lanjut menurut Revrisond sejalan
dengan penjelasan Mantan Wakil Presiden Moh. Hatta bahwa “bukan corak pekerjaan
yang dikerjakan menjadikan ukuran untuk menjadi anggota, melainkan kemauan dan
rasa bersekutu dan cita-cita koperasi yang dikandung dalam dada dan kepala
masing-masing”.
Pada
Undang-Undang No. 12 Tahun 1967 ketentuan keanggotaan koperasi berubah secara
mendasar. Hal ini tergambar dalam Pasal 11 bahwa keanggotaan koperasi
didasarkan atas kesamaan kepentingan dalam lapangan usaha koperasi. Kemudian,
pada Pasal 17 yang dimaksud dengan anggota yang memiliki kesamaan kepentingan
adalah suatu golongan dalam masyarakat yang homogen. Perubahan ketentuan
keanggotaan yang dilakukan melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 1967 ini adalah
dasar bagi tumbuhnya koperasi-koperasi golongan fungsional seperti koperasi
pegawai negeri, koperasi dosen, dan koperasi angkatan bersenjata di Indonesia. Undang-Undang
Perkoperasi yang terbaru yaitu Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 juga
mempertahankan keberadaan koperasi golongan fungsional. Pada Pasal 27 ayat (1),
syarat keanggotaan koperasi primer adalah mempunyai kesamaan kepentingan
ekonomi. Lebih lanjut dalam penjelasn disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
kesamaan kepentingan ekonomi adalah kesamaan dalam hal kegiatan usaha,
produksi, distribusi, dan pekerjaan atau profesi.
Undang-Undang
No. 12 Tahun 1967 membuka peluang untuk mendirikan koperasi produksi, namun di
Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 peluang ini justru ditutup sama sekali. Hal ini
terlihat pada Pasal 83, di mana hanya terdapat empat koperasi yang diakui
keberadaannya di Indonesia, yaitu koperasi konsumen, koperasi produsen, koperasi
jasa, dan koperasi simpan pinjam. Sesuai dengan Pasal 84 ayat (2) yang dimaksud
dengan koperasi produsen dalah koperasi yang menyelenggarakan kegiatan usaha
pelayanan di bidang pengadaan sarana produksi dan pemasaran produksi. Artinya,
yang dimaksud dengan koperasi produsen sesungguhnya adalah koperasi konsumsi
para produsen dalam memperoleh barang dan modal.
Karakteristik
Undang-Undang No, 17 Tahun 2012 yang mempertahankan koperasi golongan
fungsional dan meniadakan koperasi produksi itu jelas paradoks dengan
perkembangan koperasi yang berlangsung secara internasional. Dengan tujuan
dapat digunakan sebagai dasar untuk menjadikan koperasi sebagai gerakan ekonomi
rakyat, justru Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 diwaspadai menjadi ancaman
serius terhadap keberadaan koperasi di Indonesia.
Selain itu,
pada Pasal 78 Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 mengatur koperasi dilarang
membagikan profit apabila diperoleh dari hasil transaksi usaha dengan
non-anggota, yang justru seharusnya surplus/profit sebuah koperasi sudah
sewajarnya dibagikan kepada anggota. Hal ini cukup membuktikan
ketidakberpihakan pemerintah kepada rakyat kecil. Hal mana yang sudah kita
ketahui bersama bahwa koperasi sangat sulit melakukan transaksi dengan nilai
laba tinggi kepada anggotanya, karena justru menekan laba/profit demi
memberikan kesejahteraan kepada anggotanya. Bersikap tolak belakang dari
ketentuan Pasal di atas, Pasal 80 menentukan bahwa dalam hal terdapay defisit
hasil usaha pada koperasi simpan pinjam, anggota wajib menyetor tambahan
Sertifikan Modal Koperasi
Berkaitan
dengan lembaga Credit Union, khususnya di Provinsi Kalimantan Barat yang
menjadi kontroversi, sebab Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 tidak sama sekali
menyinggung soal Credit Union, padahal credit union berkembang
sangat pesat di provinsi tersebut. Masyarakat Provinsi Kalimantan Barat lebih
menyukai menggunakan fasilitas Credit Union daripada koperasi.
Bagi
penulis, tidak terlalu mempersoalkan hal tersebut jika credit union
tidak dimasukkan dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2012. Hal ini dikarenakan, Credit
Union sangatlah berbeda dengan sistem koperasi utamanya Koperasi Simpan
Pinjam. Jika simpan pinjam di luar Credit Union modal bisa dari pihak
luar yang kemudian dipinjamkan kepada anggotanya, maka di Credit Union
bersifat swadaya, pendidikan, dan solidaritas.
Pinjaman
yang diberikan kepada anggota Credit Union adalah murni dari modal yang
tergabung di dalamnya dan bukan dari pinjaman yang berasal dari pihak ketiga.
Jika Credit Union telah tidak masuk dalam Undang-Undang
Perkoperasian, maka kedepan mungkin akan dibuatkan aturan yang lebih
spesifik/khusus baik dari segi hukum materiil ataupun formalnya, agar lebih
memberikan kepastian hukum.