NAMA: NITA MARLINA
NPM : 15211196
KLS: 3EA09
"Negarakretagama" gubahan Empu Prapanca adalah deskripsi kejayaan dan kebesaran Majapahit pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Ditulis di atas lontar dengan huruf dan bahasa Jawa Kuna dan diungkapkan dalam format puitik kakawin, "Negarakretagama" juga berisi tentang hukum,undang-undang serta tata pemerintahan yang menjadi warisan Majapahit.
Sementara "Babad Diponegoro" adalah otobiografi dan perjalanan hidup Pangeran Diponegoro yang ditulis selama masa pengasinggannya di Manado pada 1831-1832. Walau berbeda jaman dengan saat ini, tetapi konsep dan pemikiran-pemikiran yang terkandung dalam "Negarakretagama" dan "Babad Diponegoro" dapat memberikan roh sumber kajian sosial, budaya, dan politik pada saat ini. Sebelumnya, naskah-naskah "I La Galigo" yang merupakan karya sastra terbesar di dunia yang berasal dari Sulawesi yang ditulis sekitar abad ke-10 telah terdaftar sebagai International MOW Register pada tanggal 27 Juli 2011.
Sejak tahun 2006, telah dibentuk suatu Komite Nasional MOW Indonesia. Komite MOW Indonesia merupakan unit nonstruktural yang berada dan bertanggung jawab dalam lingkungan organisasi LIPI serta ditetapkan dengan Keputusan Kepala LIPI dan bersifat koordinatif dengan Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU). Duduk sebagai Ketua Komite adalah Deputi Jasa Ilmiah LIPI dan Kepala Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah LIPI sebagai Sekretaris Komite.
Tujuan dari program Memory of the World Indonesia adalah untuk memfasilitasi pelestarian dokumen dari warisan dokumenter dunia melalui tehnik yang paling tepat, membantu akses pada warisan dokumenter dunia tersebut, dan meningkatkan kesadaran dari keberadaan dan pentingnya warisan dokumenter dunia.
Keanggotaan Komite MOW Indonesia berasal dari unsur pemerintah, swasta, dan para pakar di bidangnya, antara lain Kementerian Negara Riset dan Teknologi RI, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, LIPI, Museum Nasional, Arsip Nasional RI, Perpustakaan Nasional RI, serta LSM dan Perguruan Tinggi.
Pada Rabu, 3 Juli 2013, Komite MOW Indonesia akan mengadakan Penyambutan Pengakuan "Negarakretagama" dan "Babad Diponegoro" sebagai Ingatan Kolektif Dunia (Memory of the World) UNESCO di Gedung A, Lantai 2 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Turut hadir dalam acara tersebut adalah Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UI Prof. Edi Sedyawati dan Dr. Peter Carey, penulis buku "Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855". Selain itu juga akan diadakan diskusi mengenai relevansi "Negarakretagama" dan "Babad Diponegoro" oleh Prof. Wardiman Djojonegoro dan Dr. Ninie Susanti.
Oleh: Edi Sedyawati
Sebenarnya, obyek ilmu Arkeologi tak pernah bergerak: bahan kajian utamanya berupa artefak ataupun benda-benda tinggalan alamiah dari masa lalu itu tak pernah bergerak sendiri. Mereka diam di dalam atau di atas tanah. Para ahli Arkeologi lah yang bergerak mencarinya dengan melakukan ekskavasi atau pun semata-mata pencatatan apabila tinggalannya ada di atas permukaan tanah. Adapun yang ‘bergerak’ dari sasaran kajian para arkeolog, itu adalah permasalahan penelitiannya, yang senantiasa dapat dikembangkan atau pun diberi penglihatan baru.
Sasaran awal dari kajian Arkeologi adalah telaah deskriptif: mulai dari tampilan fisik primer, sampai ke yang sudah menyertakan analisis berkenaan dengan unsure-unsur atau komposisi materialnya, atau bekas pakai, maupun yang telah dikaitkan dengan suatu ancangan klasifikasi dan tipologi tertentu. Lebih jauh, pertanyaan-pertanyaan spesifik dapat dihadapkan kepada data Arkeologi, terkait dengan berbagai permasalahan khusus yang dapat dibangun oleh peneliti. Sebagaimana biasa dijumpai pada kajian-kajian sejarah, kajian Arkeologi pun dapat mengajukan seumlah pertanyaan, baik berkenaan dengan struktur maupun dengan proses. Pada gilirannya penelisikan structural ataupun prosesual itu dapat pula diperhadapkan dengan berbagai pertanyaan khusus, misalnya yang berkenaan dengan perilaku social, lingkungan alam, maupun berbagai aspek teknologi yang terkait dengan pembuatan alat maupun pembangunan lingkungan buatan oleh manusia.
Adapun relevansi Arkeologi bagi masyarakat umum yang disebut “public” itu perlu ditegaskan. Benarkah masyarakat umum di luar para penggiat Arkeologi sendiri itu mempunyai kepentingan terhadp Arkeologi? Mungkin secara spesifik tidak, namun secara umum mestinya suatu bangsa itu berkepentingan untuk mengetahui masa lalunya. Dan masa lalu itu untuk sebagian dapatlah diketahui melalui kajian-kajian Arkeologi. Pada titik ini perlu diperhatikan betapa kajian sejarah dan Arkeologi dalam kenyataan saling menyilang dan saling mendukung. Sebagaimana kita bersepakat sejarah dan Arkeologi dibedakan dari sumber data utamanya: sumber utama sejarah adalah dokumen tertulis yang memuat teks, yang untuk masa tertentu yang dekat dengan masa kini dapat ditunjang pula oleh data informasi lisan dari pelaku atau saksi sejarah, sedangkan sumber utama Arkeologi adalah tinggalan kebendaan dari masa lalu, baik yang amat jauh ke belakang maupun yang cukup dekat dengan masa kini. Namun kenyataan penelitian menunjukkan bahwa kedua jenis tersebut saling melengkapi, dan sering juga saling menjelaskan. Pemahaman tentang masa lalu suatu bangsa dibentuk oleh keduanya. Disitulah letak kepentingan public terhadap Arkeologi dan juga sejarah. Konon suatu bangsa yang tidak mengenal (pondasi) masa lalunya akan menjadi bangsa yang lemah, yang dapat mudah ‘diarahkan’. Atau dengan kata lain dijajah, oleh bangsa(-bangsa) lain. Demikianlah pernah dinyatakan oleh Miguel Leon-Portilla, seorang ahli kebudayaan yang menulis buku Endangered Cultures (1976, terjemahan 1990).
Kini baiklah ditinjau peminatan-peminatan khusus yang dimungkinkan dengan bertitik tolak dari bidang Arkeologi. Suatu peminatan khusus itu bisa terkait dengan obyek kajian yang spesifik, dan bisa pula dengan penyertaan ilmu lain. Adapun peminatan atas dasar obyek yang spesifik dapat dicontohkan oleh kajian-kajian terfokus, seperti kepada: benda-benda tembikar (keramik dalam arti luas), benda-benda logam, keduanya berkenaan dengan kajian bentuk dan teknologinya, ataupun contoh-contoh lain berupa kajian ikonografi, kajian arsitektur, kajian tata hunian, dan lain-lain. Kajian terhadap obyek-obyek spesifik itiu sedikit-banyak seringkali perlu juga menyertakan perangkat konsep atau teori dari ilmu-ilmu lain. Adapun jenis-jenis kajian Arkeologi yang lebih jelas ‘menggandeng’ ilmu-ilmu lain dapat dicontohkan oleh misalnya: kajian kesejarahan, atau kajian yang terpusat kepada permasalahan struktur dan proses social, ataupun kajian di sekitar lingkungan hidup dan upaya penanggapan atau penanggulangannya. Ketiga contoh itu terkait dengan ilmu-ilmu lain, masing-masing: ilmu sejarah, sosiologi, dan ilmu ekologi.
Disamping itu semua, suatu peminatan khusus dalam studi Arkeologi dapat berkenaan dengan tempat atau lingkungan dimana peninggalan-peninggalan masa lalu itu ditemukan. Yang dimaksud di sini adalah apa yang dapat disebut sebagai “Arkeologi Bawah Air” atau Underwater Archaeology”. Letak tinggalan yang memerlukan keahlian dan perlengkapan khusus untuk mengkajinya itu membuatnya sebagai subyek kajian yang khusus pula, meski benda-benda yang ditemukan di bawah air itu dapat saja dpelajari lebih jauh terkait dengan pemintan khusus yang telah disebut di muka. Dalam kajian ini perlu kita membedakan antara “Arkeologi Bawah Air” ini dengan apa yang dapat dinamakan Arkeologi Maritim. Kalau yang pertama, yaitu Arkeologi bawah air, terkait dengan letak tekmuannya yang berada di bawah permukaan air, maka apa yang dapat disebut dengan Arkeologi Maritime adalah kajian Arkeologi yang khususnya terkait denga dunia pelayaran. Dalam hal terakhir ini temuan-temuan artefak yang dibahas tidak perlu ditemukan di bawah air, namun misalnya mengindikasikan adanya pelayaran melintasi laut, seperti dalam hal ditemukannya keramik Arikamedu (dari India) di situs Sembiran di Bali Utara. Selebihnya suatu pengkhususan Arkeologi Maritim dapat mempelajari lebih rinci mengenai teknologi perkapalan melalui artefak-artefak masa lalu yang ditemukan. Dalam hubungan inisenantiasa dapat dilakukan bandingan dengan tradisi-tradisi teknologi yang masih dikenal dalam lengkungan-lingkungan tenik tertentu. Maka suatu pendekatan antropolgis dapat diterapkan dalam hal kajian-kajian semacam itu. Suatu upaya analogi dapat menjadi titik berat dalam hal itu. Kajian dengan ancangan itu lazim disebut sebagai kajian Etno-Arkeologi. Sudah tentu hal ini tidak melulu berlaku untuk kajian maritime, namun dapat juga diterapkan misalnya untuk kajian-kajian dengan ancangan lain, seperti misalnya: teknologi pangan, adat berbusana, teknik dan system perburuan, dan sebagainya.
Dengan pergandengan bersama ilmu-ilmu lain itu Arkeologi dapat membantu merekonstruksi peri kehidupan manusia di masa lalu, berkenaan dengan berbagai system, seperti: system religi, system social, system mata pencaharian hidup, dan lain-lain. Konstruksi-konstruksi sistemik itu dapat dibangun dan diperhadapkan dengan data Arkeologi untuk membentuk gambaran-gambaran kehidupan masa lalu di berbagai satuan kewilayahan, pada berbagai satuan social yang dapat diduga adanya. Dengan kata lain, Arkeologi dapat memberikan sumbangan dalam merekonstruksi peri kehidupan di masa lalu. Untuk menujuk ke sana sandaran utamanya adalah komparasi dan analogi: komparasi intra data Arkeologi sendiri, dan analogi dengan data bidang-bidang ilmu lain, apakah itu antropologi, histori, geologi, sosiologi, ataupun ilmu-ilmu lain. Untuk menuju ke sana sandaran utamanya adalah komparasi dan analogi: komparasi intra data Arkeologi sendiri, analisis pun dapat ditujukan ke arah-arah yang belum pernah ditempuh sebelumnya. Hal ini dapat dicontohkan oleh semakin mendetailnya analisis terhadap benda-benda gerabah yang ditemukan dalam konteks Arkeologi: disamping bentuk-bentuk bendanya, telah dianalisis pula berbagai sifat pembeda yang ada pada gerabah, seperti: komposisi bahan dasar, sifat pembakaran, proses pembentukan (seperti terlihat pada misalnya: tanda ‘roulette’, temper, glasir, pewarnaan, dan sebagainya) serta berbagai fungsi yang mungkin terkait dengannya. Demikian juga berkenaan dengan arca: disamping telah dibedakan atas dasar ciri-ciri ikonografik, yang banyak didukung oleh informasi tekstual mengenai kaidahnya, analisis gaya seni arca juga telah dicoba untuk lebih dirinci sampai bertele-tele seperti dalah hal pengarcaan Ganesa!
Penggandengan dengan ilmu-ilmu alamiah memungkinkan Arkeologi untuk dibantu, atau mungkin turut menjawab, permasalahan-permasalahan alamiah, misalnya yang terkait dengan keadaan dan perubahan-perubahan bumi di masa-masa yang lalu. Demikian pula proses-proses pengerjaan peralatan hidup, apakah itu pembakaran keramik, ataukah pemangkasan batu dari bongkahan besarnya, telah pula dapat dikaji oleh ilmu-ilmu alamiah untuk memperkirakan seberapa jauh di masa lalu waktu pembuatannya. Dengan catatan akhir ini, marilah kita berharap agar ilmu kita, Arkeologi, dapat senantiasa kita kembangkan dengan berbagai upaya tak kenal lelah, untuk senantiasa berupaya menembus batas-batas pengetahuan yang ada! Selamat berkongres untuk Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia
judul: warisan budaya tak benda masalahnya kini di indonesia.
Pusat penelitian kemasyarakatan dan budaya lembaga penelitian universitas indonesia depok, 2003
penyuting: edi sedyawati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar