Sabtu, 17 Maret 2012

TUGAS BAHASA INGGRIS

CONTOH KALIMAT DIRECT - INDIRECT

DIRECT SPEECH

1.   simple present
He said, “I go to school every day.”
2.    simple past
He said, “I went to school every day.”
3.    present perfect
He said, “I have gone to school every day.”
4.    present progressive
He said, “I am going to school every day.”
5.    past progressive
He said, “I was going to school every day.”
6.    future (will)
He said, “I will go to school every day.”
7.    future (going to)
He said, “I am going to school every day.”

INDIRECT SPEECH
a.    simple past
He said (that) he went to school every day.

b.    past perfect
He said (that) he had gone to school every day.
c.    past progressive
He said (that) he was going to school every day.
d.    perfect progressive
He said (that) he had been going to school every day
e.    simple past
He asked me if I went to school every day.*
Hasked me where I went to school.


Direct : She says to her friend, ” I have been writing “.

Indirect : She says to her friend that he has been writing. (tidak berubah)


Direct : She has told you, ” I am reading “.

Indirect : She has told you that he is reading. (tidak berubah)


Direct : She will say, ” You have done wrongly “.

Indirect : She will tell you that you have done wrongly. (tidak berubah)


Direct : She will say,” The boy wasn’t lazy “.

Indirect : She will tell them that the boy wasn’t lazy. (tidak berubah)


TUGAS TULISAN TENTANG EKONOMI

Tulisan I
PEMERINTAH HARUS SEGERA UMUMKAN KENAIKAN BBM

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat Ekonomi Universitas Padjajaran, Bandung, Kodrat Wibowo, mendorong pemerintah segera mengumumkan kenaikan harga bahan bakar bersubsidi. Hal ini bertujuan mencegah domino efek kenaikan harga yang berlarut-larut.
"Saat ini, harga bahan kebutuhan pokok mulai mengalami penyesuaian," kata Kodrat pada diskusi mengenai BBM di Jakarta, Sabtu (17/3/2012).
Sementara itu, analis energi Dirgo W Purbo mengatakan, dirinya dapat memahami niat pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Dirgo melihat ada kewajaran di balik niat pemerintah tersebut. Menurut Dirgo, kemampuan pemerintah terkait target produksi minyak mentah siap jual (lifting) di bawah 900.000 barrel per hari sama seperti periode 1970-an.
"Pada era tersebut, penduduk Indonesia sekitar 70 juta orang. Indonesia masih menjadi net oil and gas exporter. Saat ini penduduk Indonesia mencapai 230 juta. Dengan volume yang sama, bagaimana bisa menghidupkan negara dengan jumlah penduduk yang bertambah tiga kali lipat? Saya melihat adanya kewajaran," kata Dirgo.
Sebelumnya, pemerintah mengajukan usulan kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi Rp 1.500 per liter dalam Rancangan APBN Perubahan 2012.


Tulisan  II
Krisis Ekonomi
Krisis Bisa Hantam Indonesia Tahun 2012
Surya/dodo hawe Mantan Menteri Koordinator bidang Perekonomian dan Menteri Keuangan, era Presiden Gus Dur, Dr Rizal Ramli.
TERKAIT:
JAKARTA, KOMPAS.com Indonesia bisa dihantam krisis ekonomi sedahsyat yang pernah dialami negeri ini tahun 1997, akibat krisis utang di Eropa dan Amerika Serikat.
Jumlah aliran dana asing alias hot money yang beredar di Indonesia lima kali lipat dibandingkan tahun 1997. Pengetatan likuiditas di negara-negara Eropa, sebagai obat krisis utang beberapa negara anggota Uni Eropa, bisa membuat hot money di Indonesia ditarik keluar.
Ekspor yang terus mengalami pelambatan akibat krisis di Eropa dan Amerika Serikat juga bakal menekan nilai tukar rupiah. Pada gilirannya, krisis utang di Eropa bakal berimbas pada perekonomian Indonesia.
Mantan Menteri Perekonomian, Rizal Ramli, di Jakarta, Selasa (15/11/2011),memprediksi hantaman krisis di Indonesia akibat krisis utang di Eropa bakal sangat terasa pada kuartal pertama tahun 2012.
Rizal mengatakan, penjelasan resmi pemerintah bahwa Indonesia tidak bakal terimbas krisis harus disikapi hati-hati. Persoalannya, krisis tahun 1997 juga akibat pemerintah melenakan berbagai sinyal krisis.
"Penjelasan resmi pemerintah, Indonesia enggak bakal kena krisis; ekonomi dan fundamental ekonomi Indonesia kuat sekali," katanya. "Pernyataan-pernyataan begini sama seperti yang diungkapkan pada tahun 1997-1998 bahwa ekonomi Indonesia fundamentalnya kuat, cadangan devisa besar. Menurut saya, kita harus hati-hati karena cadangan devisa yang besar itu tidak seluruhnya milik pemerintah."
Rizal menyebutkan, dari cadangan devisa Indonesia 110 miliar dollar AS, punya pemerintah paling banyak hanya seperempatnya. Sisanya dimiliki oleh swasta.
"Kita kan menganut sistem devisa yang superbebas. Kalau ada apa-apa, swasta ini pasti telepon banknya supaya uangnya dikirim ke luar negeri. Nah sekarang itu, jumlah uang panas atau hot money lima kali lipat dari tahun 1998," ujar Rizal.
Celakanya, menurut Rizal, pemerintah tidak mampu melakukan reformasi birokrasi sehingga tidak ada perubahan dalam kultur birokrasi.
"Birokrasi masih merupakan penghambat. Yang namanya hot money tidak berhasil berubah jadi cold money, uang dingin. Idealnya, uang panas itu diubah jadi uang dingin masuk ke investasi sektor riil," katanya.
Rizal menunjukkan, sinyal krisis sebetulnya sudah mulai terasa. "Pelan-pelan ekspor Indonesia sudah mulai melambat, dan itu juga terjadi di negara lain. China saja yang hebat sudah mulai slow down karena dua raksasa ekonomi, Eropa dan Amerika, mengalami pelambatan," ujarnya.
Dampak krisis utang di Eropa, menurut Rizal, bisa terlihat dari dua hal. Dampaknya melalui dua mekanisme. "Satu, mekanisme ekspor. Ekspor Indonesia mulai melambat 2012. Sayangnya impor kita naiknya tinggi terus. Akibatnya, surplus di neraca pembayaran dan transaksinya berjalan makin lama makin kecil. Itu akan memberi tekanan terhadap mata uang rupiah," ungkap Rizal.
Kedua, menurutnya, melalui mekanisme finansial. "Karena krisis, Eropa sedang mengetatkan likuiditas dan sektor moneternya. Dengan begitu, mereka mau tidak mau menarik investasi di portofolio mereka di Indonesia," ucapnya.

 TULISAN III

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat menjadi pihak yang paling disalahkan atas penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Namun, program bantuan langsung tunai (BLT) ternyata mampu menyelamatkan citra Yudhoyono dan partai yang dibinanya.

Hal tersebut adalah kesimpulan survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dirilis di Jakarta, kemarin. Survei dilakukan pada 5-8 Maret 2012 terhadap 440 responden. Menurut Adjie Alfaraby, peneliti LSI, survei menggunakan multistage random sampling dengan margin of error sekitar 4,8 persen.

Adjie menjelaskan, 86,6 persen responden menolak jika harga BBM bersubsidi dinaikkan pemerintah. 11,26 persen setuju, dan 2,14 persen tidak menjawab. Pihak yang paling disalahkan atas penaikan harga BBM bersubsidi dalam kategori tokoh ialah SBY (34,06 persen), diikuti DPR (30,79 persen), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (17,71 persen), dan lainnya 3,54 persen. Sisanya, sebesar 13,9 persen tidak menjawab.
Dari sisi partai, 54,2 persen responden akan menyalahkan Partai Demokrat jika harga BBM bersubsidi jadi dinaikkan. Partai koalisi hanya disalahkan 11,5 persen responden. Sisanya, 34,1 persen responden tidak menjawab.

Penaikan harga BBM bersubsidi menjadi Rp6.000 per liter akan dimulai 1 April mendatang. Pemerintah sudah menyiapkan kompensasi atas penaikan harga BBM bersubsidi berupa BLT sebesar Rp25,6 triliun. Berdasarkan nota keuangan yang disampaikan pemerintah kepada DPR, BLT dikucurkan Rp150 ribu per bulan untuk satu rumah tangga sasaran selama sembilan bulan.

Bermental pengemis

Berdasarkan hasil survei LSI, Yudhoyono dan Partai Demokrat merupakan pihak yang mengeruk keuntungan politik terbesar atas program BLT. Mereka dianggap sebagai pihak yang paling berjasa.
Hasil survei menyebutkan jika program BLT digelontorkan, 53,74 persen responden menyatakan Yudhoyono sebagai pihak yang berjasa. Urutan berikutnya ialah Menko Perekonomian Hatta Rajasa (19,25 persen), 16,09 persen tak menjawab, dan 10,92 persen menyebut sejumlah tokoh lain.
Keuntungan juga diraup Partai Demokrat. Sebanyak 54,36 persen responden menyatakan Partai Demokrat sebagai pihak yang paling berjasa jika BLT digelontorkan. Sebanyak 25 persen responden tidak menjawab dan hanya 25,64 persen responden yang menyatakan partai lain berjasa. "Partai koalisi sekalipun tidak mendapatkan keuntungan dari program BLT," kata Adjie.
Saat dihubungi terpisah, kemarin, ekonom Universitas Gadjah Mada Sri Adiningsih menilai program BLT justru mendorong warga miskin menjadi pemalas dan bermental pengemis.
Ia menjelaskan, dengan penaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp1.500 per liter, terdapat penghematan sekitar Rp38 triliun. Dana penghematan sebesar itu, kata dia, bisa dipakai untukprogram-program produktif dan padat karya. Pemberian BLT, menurut Sri, sama sekali tidak membuat masyarakat menjadi cerdas dan produktif.

Tulisan IV

INFLASI INDONESIA
Krisis moneter yang melanda negara-negara ASEAN, termasuk
Indonesia, telah menyebabkan rusaknya sendi-sendi perekonomian
nasional. Krisis moneter menyebabkan terjadinya imported inflation
sebagai akibat dari terdepresiasinya secara tajam nilai tukar rupiah
terhadap mata uang asing, yang selanjutnya mengakibatkan tekanan
inflasi yang berat bagi Indonesia.
Fenomena inflasi di Indonesia sebenarnya semata-mata bukan
merupakan suatu fenomena jangka pendek saja dan yang terjadi secara
situasional, tetapi seperti halnya yang umum terjadi pada negara-negara
yang sedang berkembang lainnya, masalah inflasi di Indonesia lebih
pada masalah inflasi jangka panjang karena masih terdapatnya
hambatan-hambatan struktural dalam perekonomian negara. Dengan
demikian, maka pembenahan masalah inflasi di Indonesia tidak cukup
dilakukan dengan menggunakan instrumen-instrumen moneter saja,
yang umumnya bersifat jangka pendek, tetapi juga dengan melakukan
pembenahan di sektor riil, yaitu dengan target utama mengeliminasi
hambatan-hambatan struktural yang ada dalam perekonomian nasional.Seperti halnya yang terjadi pada negara-negara berkembang pada umumnya,
fenomena inflasi di Indonesia masih menjadi satu dari berbagai “penyakit” ekonomi
makro yang meresahkan pemerintah terlebih bagi masyarakat. Memang, menjelang
akhir pemerintahan Orde Baru (sebelum krisis moneter) angka inflasi tahunan
dapat ditekan sampai pada single digit, tetapi secara umum masih mengandung
kerawanan jika dilihat dari seberapa besar prosentase kelompok masyarakat
golongan miskin yang menderita akibat inflasi. Lebih-lebih setelah semakin
berlanjutnya krisis moneter yang kemudian diikuti oleh krisis ekonomi, yang
menjadi salah satu dari penyebab jatuhnya pemerintahan Orde Baru, angka inflasi
cenderung meningkat pesat (mencapai lebih dari 75 % pada tahun 1998), dan
diperparah dengan semakin besarnya presentase golongan masyarakat miskin.
Sehingga bisa dikatakan, bahwa meskipun angka inflasi di Indonesia termasukdalam katagori tinggi, tetapi dengan meninjau presentase golongan masyarakat
ekonomi bawah yang menderita akibat inflasi cukup besar, maka sebenarnya dapat
dikatakan bahwa inflasi di Indonesia telah masuk dalam stadium awal dari
hyperinflation.
Sebagaimana halnya yang umum terjadi pada negara – negara berkembang,
inflasi di Indonesia relatif lebih banyak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat
struktural ekonomi bila dibandingkan dengan hal-hal yang bersifat monetary
policies. Sehingga bisa dikatakan, bahwa pengaruh dari cosh push inflation lebih
besar dari pada demand pull inflation.
Memang dalam periode tahun-tahun tertentu, misalnya pada saat terjadinya oil
booming, tekanan inflasi di Indonesia disebabkan meningkatnya jumlah uang
beredar. Tetapi hal tersebut tidak dapat mengabaikan adanya pengaruh yang
bersifat struktural ekonomi, sebab pada periode tersebut, masih terjadi kesenjangan
antara penawaran agregat dengan permintaan agregat, contohnya di sub sektor
pertanian, yang dapat meningkatkan derajat inflasi.
Pada umumnya pemerintah Indonesia lebih banyak menggunakan pendekatan
moneter dalam upaya mengendalikan tingkat harga umum. Pemerintah Indonesia
lebih senang menggunakan instrumen moneter sebagai alat untuk meredam inflasi,
misalnya dengan open market mechanism atau reserve requirement. Tetapi perlu
diingat, bahwa pendekatan moneter lebih banyak dipakai untuk mengatasi inflasi
dalam jangka pendek, dan sangat baik diterapkan peda negara-negara yang telah
maju perekonomiannya, bukan pada negara berkembang yang masih memiliki
structural bottleneck. Jadi, apabila pendekatan moneter ini dipakai sebagai alat
utama dalam mengendalikan inflasi di negara berkembang, maka tidak akan dapat
menyelesaikan problem inflasi di negara berkembang yang umumnya berkarakteristik
jangka panjang.Seperti halnya yang terjadi di Indonesia pada saat krisis moneter yang
selanjutnya menjadi krisis ekonomi, inflasi di Indonesia dipicu oleh kenaikan harga
komoditi impor (imported inflation) dan membengkaknya hutang luar negeri akibatdari terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika dan mata uang
asing lainnya. Akibatnya, untuk mengendalikan tekanan inflasi, maka terlebih
dahulu harus dilakukan penstabilan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing,
khususnya dolar Amerika.Dalam menstabilkan nilai kurs, pemerintah Indonesia cenderung lebih banyakmemainkan instrumen moneter melalui otoritas moneter dengan tight money policyyang diharapkan selain dapat menarik minat para pemegang valuta asing untuk
menginvestasikan modalnya ke Indonesia melalui deposito, juga dapat menstabilkan
tingkat harga umum.Tight money policy yang dilakukan dengan cara menaikkan tingkat suku bunga SBI (melalui open market mechanism) sangat tinggi, pada satu sisi akan efektif
untuk mengurangi money suplly, tetapi di sisi lain akan meningkatkan suku bunga
kredit untuk sektor riil. Akibatnya, akan menyebabkan timbulnya cost push inflation
karena adanya interest rate-price spiral. Apabila tingkat suku bunga (deposito)
perbankan sudah terlalu tinggi, sehingga dana produktif (dana untuk berproduksi
atau berusaha) yang ada di masyarakat ikut terserap ke perbankan, maka akan
dapat menyebabkan timbulnya stagnasi atau bahkan penurunan output produksi
nasional (disebut dengan Cavallo effect). Lebih lagi bila sampai terjadi negatif spread
pada dunia perbankan nasional, maka bukan saja menimbulkan kerusakan pada
sektor riil, tetapi juga kerusakan pada industri perbankan nasional (sektor moneter).
Jika kebijaksanaan ini terus dilakukan oleh pemerintah dalam jangka waktu
menengah atau panjang, maka akan terjadi depresi ekonomi, akibatnya struktur
perekonomian nasional akan rusak.
Jika demikian halnya, maka sebaiknya kebijaksanaan pengendalian inflasi
bukan hanya dilakukan melalui konsep kaum moneterist saja, tetapi juga dengan
memperhatikan cara pandang kaum structuralist, yang lebih memandang perlunya
mengatasi hambatan-hambatan struktural yang ada.
Dengan berpedoman pada berbagai hambatan dalam pembangunan perekonomian
Indonesia yang telah disebutkan di atas, maka perlu berbagai upaya
pembenahan


Tulisan  V

Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2012 hanya sebesar 6,3 persen, lebih rendah dari proyeksi untuk 2011 sebesar 6,4 persen.

"Salah satu faktor yang mempengaruhi pelambatan pertumbuhan ini adalah kemorosotan ekonomi global," kata Ekonom Bank Dunia Perwakilan Indonesia, Shubham Chaudhuri, di Institut Kebijakan Publik Paramadina Jakarta, Selasa.

Menurut dia, pasar keuangan Indonesia tidak kebal terhadap guncangan eksternal. Tetapi Indonesia tetap menunjukkan kinerja ekonomi yang kuat di tengah banyaknya negara di dunia yang mengalami penurunan tajam posisi fiskal dan neraca keuangan sektor swasta sejak 2008.

Lebih lanjut Shubham mengatakan, fundamental ekonomi makro Indonesia yang kokoh adalah pertahanan utama dalam menghadapi gejolak pasar yang terus berlangsung.

Menurut dia, penting bagi Indonesia mengambil langkah-langkah meningkatkan ketahanan terhadap goncangan pasar keuangan global termasuk dengan menghindari ketidakpastian dalam kebijakan.

Bank Dunia telah menurunkan proyeksi angka pertumbuhan ekonomi tahun 2012 dari 6,7 persen menjadi 6,3 persen pada Juni 2011 karena melemahnya pertumbuhan ekonomi negara-negara mitra dagang utama dan harga komoditas.

Namun, menurut Shubham, angka ini masih menempatkan perekonomian Indonesia pada posisi yang kuat.

"Saat ini, dalam skenario Bank Dunia, tidak perlu dilakukan perhitungan darurat," kata Shubham.

Namun, menurut dia, sebagai persiapan untuk menghadapi skenario krisis ada beberapa hal penting yang bisa dilakukan antara lain mengkaji ulang protokol krisis manajemen terutama pada sektor finansial, mempertimbangkan pembiayaan tak terduga untuk anggaran, dan mempersiapkan rencana darurat berupa stimulus fiskal.

Pada skenario yang pesimistis termasuk jika terjadi krisis keuangan internasional serta melemahnya permintaan eksternal, maka Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2012 akan turun hingga hanya 5,5 persen.

Sedangkan pada skenario yang ekstrim di mana krisis menyebabkan turunnya pertumbuhan global secara signifikan dan India serta China juga menghadapi pertumbuhan yang besar, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2012 akan merosot tajam namun masih berada di atas empat persen.



Tulisan VI
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Andri Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Kordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa menganggap sah-sah saja terjadinya aksi demonstrasi menyuarakan penolakan atas kebijakan kenaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi.
"Saya kira itu dalam negara demokrasi biasa, sepanjang tertib, tidak anarkis, tidak usah juga kita bereaksi berlebihan," demikian Hatta mengatakan di kompleks Istana Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (16/3/2012) sore.
Hatta menegaskan adalah tugas pemerintah memberikan penjelasan kepada masyarakat bahwa kebijakan yang diambil pemerintah menaikkan harga BBM bertujuan untuk menyelamatkan ekonomi nasional.
"Karena itu bagian dari tugas pemerintah adalah menjelaskan kepada kawan-kawan yang demo. Inilah program pemerintah sebenarnya baik dalam rangka menyelamatkan perekonomian nasional. Dalam rangka kita menjaga momentum pertumbuhan sekaligus juga melindungi masyarakat kita yang lemah, terkena dampak dengan bantuan-bantuan langsung, memberikan
beasiswa, termasuk juga transportasi dan sebagainya," lanjutnya menjelaskan.
Ditegaskannya penting bagi pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah untuk memberikan sosialisasi. "Negara demokrasi di dunia ini selalu ada demo dan demo tidak bisa dijadikan suatu alasan yang penting tertib ya, dan sampai tujuan atau ekspresinya itu sampai dan kita dengarkan. Kalau bisa berdialog, lebih baik lagi."
Terkait pasokan BBM subsidi menjelang kebijakan kenaikkan harga BBM per 1 April mendatang, Hatta menjamin aman. "Aman, aman," Hatta memberi kepastian, bahwa tidak ada masalah.
Terkait ditemukannya sejumlah pihak yang melakukan penimpunan BBM subsidi jelang kenaikkan BBM, Hatta dengan tegas meminta agar para pelaku ditindak tegas. "Penimbunan ditindak," tegasnya kepada wartawan.

TULISAN VII

Kenapa Orang Miskin SUKAR Berkurang ?

Tantangan untuk mengentaskan kemiskinan nampaknya kian berat. Terindikasi dari laju penurunan jumlah penduduk miskin yang kian melambat. Nampaknya, pemerintah harus bekerja lebih giat dan lebih keras.
Berdasarkan data yang didiseminasi Badan Pusat Statistik (BPS) awal Januari lalu (2/1), pada September 2011, jumlah penduduk miskin mencapai 29,89 juta orang atau sebesar 12,36 persen dari total penduduk Indonesia, turun sebeser 130 ribu orang atau 0,13 persen jika dibandingkan kondisi Maret 2011. Jumlah penduduk miskin kala itu mencapai 30,02 juta orang atau sebesar 12,49 persen dari total penduduk Indonesia.
Tidak jauh berbeda dengan si miskin
Patut diduga, 130 ribu orang penduduk miskin yang berubah status itu sebetulnya hanya beralih menjadi penduduk hampir miskin (near poor). Terindikasi dari pertambahan jumlah penduduk hampir miskin yang kini telah menembus angka 27,82 juta orang atau sekitar 11,5 persen dari total penduduk Indonesia (BPS, 2012).
Jika dibandingkan terhadap kondisi Maret 2011: jumlah penduduk hampir miskin mencapai 27,12 juta orang (10,28 persen), itu artinya, telah terjadi pertambahan jumlah penduduk hampir miskin sebesar 700 ribu orang sepanjang periode Maret 2011-September 2011. Dan, mudah untuk diduga, salah satu sumber pertambahan itu adalah 130 ribu penduduk miskin yang naik status menjadi hampir miskin, selain sekitar 570 ribu penduduk tidak miskin yang turun status menjadi hampir miskin, tentunya.
Ditengarai, pengeluaran mereka yang selamat dari kategori miskin hanya bergeser sedikit di atas garis atau batas kemiskinan. Kondisi ini menyebabkan derajat kesejahteraan mereka tidak jauh berbeda dengan penduduk miskin, bahkan mungkin sama. Karena itu, terlepas dari konsep yang digunakan BPS dalam menetapkan siapa ‘si miskin’(poor), tidak salah kalau kita menyatakan, mereka sejatinya juga masih miskin. Lebih dari itu, sebetulnya, mereka masih sangat rentan untuk kembali jatuh miskin jika terjadi gejolak ekonomi.
Kemiskinan kronik
Penurunan sebesar 130 ribu orang selama satu semester tentu relatif kecil dan jauh dari memuaskan. Padahal, anggaran yang telah digelontorkan pemerintah untuk membiaya segala rupa program pengentasan kemiskinan—yang kini kian berlapis—tidaklah sedikit, bertubi-tubi, mencapai 80 triliun di 2011 lalu (Kompas, 19/1/2012). Hal ini nampaknya semakin mengonfirmasi skeptisisme sebagian kalangan, target pemerintah untuk mengurangi tingkat kemiskinan hingga di bawah 10 persen semakin sulit dan berat untuk dicapai.
Mudah untuk diduga, kian lambatnya laju penurunan jumlah penduduk miskin karena kondisi kemiskinan yang terjadi sudah kronik (chronic poverty). Ditengarai, mereka, yang belum terentaskan dari kemiskinan, adalah penduduk miskin kronik, bukan lagi penduduk miskin sementara.
Berbeda dengan kemiskinan sementara (transient poverty) yang lebih merupakan resultan dari sebab-sebab temporer—seperti krisis ekonomi, kebijakan pemerintah yang tidak populis, dan bencana alam—kemiskinan kronik bersifat persisten, tetap hadir meskipun krisis tidak terjadi, kebijakan pemerintah populis, dan/atau tidak ada bencana alam.
Ciri utama penduduk miskin kronik adalah derajat kapabilitas—tingkat pendidikan dan kesehatan— mereka yang sangat rendah. Celakanya, rendahnya derajat kapabillitas ini juga kian diperparah dengan pesimisme terhadap kondisi serba kekurangan yang dialami. Mereka yang terjerat kemiskinan kronik umumnya tidak yakin bahwa nasib mereka bakal berubah. Bahkan, tidak jarang di antara mereka menganggap bahwa kemiskinan yang dialami sudah takdir, bahkan sesuatu yang harus disyukuri.
Karena itu, berbagai program pengentasan kemiskinan berlapis, seperti bantuan tunia (cash transfer), Program Nasional Pemberdayaan Mayarakat (PNPM) Mandiri , Program Keluarga Harapan (PKH), dan Kredit Usaha Rakyat (KUR), tidak akan berpangaruh banyak dalam mengentaskan mereka dari kemiskinan.
Dalam skema program pengentasan kemiskinan yang didesain pemerintah, upaya untuk meningkatkan derajat kapabilitas penduduk miskin memang telah dilakukan. Program-program bantuan perlindungan sosial, seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), beasiswa untuk penduduk miskin, Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan Jamaninan Persalinan (Jampersal) telah duluncurkan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan penduduk miskin, termasuk penduduk miskin kronik.
Namun, ditengarai, efektivitas program-program tersebut masih rendah. Ditengarai, penduduk miskin kronik tidak tersentuh atau tidak memiliki akses terhadap program-program bantuan tersebut. Hal ini dapat disebabkan lokasi tempat tinggal penduduk miskin kronik yang terpencil dan jauh di pelosok sehingga sulit dijangkau.
Kuncinya di daerah perdesaan
Mudah untuk diduga, sebagian besar penduduk miskin kronik terdapat di daerah perdesaan. Terindikasi dari jumlah penduduk miskin yang sebagian besar terdapat di daerah perdesaan. Data BPS menyebutkan, pada September 2011, sekitar 18,94 juta (63,4 persen) penduduk miskin terdapat di daerah perdesaan. Mudah untuk diduga, sebagian besar mereka adalah buruh tani dan petani: gurem dan penggarap.
Ditengarai, meskipun belakangan ini pertumbuhan sektor pertanian dalam arti luas—mencakup subsektor tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan—cukup mengesankan, nampaknya hal ini belum diikuti perbaikan kesajahteraan mereka—termasuk penduduk miskin—yang bekerja di sektor ini.
Berdasarkan data BPS, sepanjang 2011, sektor pertanian dalam arti luas memang telah tumbuh sebesar 3 persen (year on year). Namun, pada saat yang sama, upah riil (daya beli) buruh tani secara umum teros merosot— meskipun nilai nominalnya terus naik—dan pergerakan Nilai Tukar Petani (NTP), yang merupakan proksi derajat kesejahteraan petani, cenderung stagnan.
Data BPS menunjukkan, pada Januari 2012, upah riil buruh tani mengalami penurunan sebesar 0,41 persen dibanding Desember 2011. Begitupula dengan NTP Januari 2012, mengalami penurunan sebesar 0,02 persen dibanding Desember 2011. Dari sini patut diduga, pertumbuhan yang terjadi di sektor pertanian timpang. Dalam artian, sebagian besar ‘kue’ pertumbuhan—nilai tambah (value added)—yang tercipta di sektor ini hanya dinikmati segelintir orang yang memiliki akses penguasaan faktor produksi yang besar. Sementara sebagian besar lainnya hanya menikmati sebagian kecilnya karena keterbatasan akses penguasaan faktor produksi yang mereka miliki. Untuk subsektor tanaman bahan makanan, misalnya, sebagian besar ‘kue’ pertumbuhan nampaknya dinikmati oleh para petani besar dan pemilik lahan, bukan petani penggarap, gurem, apalagi buruh tani.
Karena sebagian besar penduduk miskin—termasuk miskin kronik—tinggal di perdesaan dan menggantungkan hidupnya di sektor pertanian, sedikitnya ada tiga hal yang harus menjadi fokus perhatian pemerintah untuk keluar dari jebakan melambatnya laju penurunan jumlah penduduk miskin dan mendorong percepatan pengentasan kemiskinan ke depannya.
Pertama, pembangunan sektor pertanian-perdesaan yang tangguh, yang tidak hanya difokuskan pada upaya menggenjot produksi pangan semata, tetapi juga pada pengembangan komoditas-komoditas pertanian bernilai jual tinggi dan berorientasi ekspor. Selaras dengan itu, distribusi penguasaan lahan juga harus diperbaiki, dan reforma agraria adalah solusinya.
Kedua, pengembangan sektor nonpertanian-perdesaan, khususnya sektor-sektor yang memiliki kaitan (linkage) ekonomi yang kuat dengan sektor pertanian, misalnya, industri yang dapat meningkatkan nilai tambah komoditas pertanian yang dihasilkan petani (agribisnis). Pengembangan sektor nonpertanian-perdesaan akan memberikan peluang-peluang ekonomi baru bagi penduduk miskin perdesaan sehingga tidak hanya bergantung pada ekonomi usaha tani. Ketiga, pembangunan infrastruktur wilayah perdesaan untuk meningkatkan aksesibilitas dan kapabilitas penduduk miskin perdesaan.
Dengan mewujudkan ketiga hal tersebut, terget untuk menurunkan persentase penduduk miskin hingga di bawah 10 persen nampaknya adalah hal yang tidak terlalu sulit untuk dicapai. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar